Kamis, 29 Januari 2009

Imam Ahmad bin Hanbal Ra

Imam Ahmad bin Hanbal lahir di Marwa dengan nama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal As-Syaibani Al-Marwazi pada tahun 164 H. Imam Ahmad bin Hanbal keturunan Nizar. Jadi masih seketurunan dengan Rasulullah SAW. Ayahnya berasal dari Marwin, negeri Khurasan ( Parsi ) yang meninggal dunia ketika Imam Ahmad masih kecil. Ketika Imam Ahmad masih kecil ( masih menyusu ), beliau dibawa oleh ibunya kekota Baghdad dan dibesarkan disana.

Abu Bakar Al-Marwazi berkata : “Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata kepada saya :”Dulu pada waktu masih kecil, saya belajar mengaji di surau-surau, kemudian saya sering pergi ke kantor-kantor. Waktu itu saya baru berumur 14 tahun”.

Sejak saat itulah Imam Ahmad gemar menuntut ilmu. Beliau mengembara menuju ke berbagai Negara yang menjadi pusat ilmu pengetahuan seperti Kuffah, Basrah, Makkah, Madinah, Yaman dan Syria. Imam Ahmad seperti tak jemu-jemunya menambah ilmu pengetahuan sampai hari tua. Kemana-mana beliau selalu membawa tinta. Ketika ditanyakan kepadanya :

“Mengapa guru selalu membawa tinta kemana saja guru pergi, padahal guru telah mencapai kedudukan yang tinggi sebagai seorang Imam besar ?”.

Maka dijawab oleh Imam Ahmad :”Dengan tinta sampai mati!”.

Maksud Imam Ahmad adalah, beliau akan terus belajar dan menimba ilmu pengetahuan hingga liang kubur, sesuai dengan Hadits Nabi SAW :

“Tuntutlah ilmu mulai dari ayunan ibu hingga ke liang lahat “.

Begitulah watak Imam Ahmad yang tak kenal jemu dalam menuntut ilmu pengetahuan, tidak terpengaruh oleh pencarian dan belum mempunyai keinginan untuk berumah tangga.

Kecintaannya terhadap Hadits Rasulullah SAW

Kecintaan Imam Ahmad bin Hanbal terhadap Hadits Rasulullah dan kegemarannya untuk mengkajinya adalah sebagai cermin penghormatan serta kecintaannya kepada Nabi Muhammad SAW.

Abu Zur’ah pernah menceritakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal telah hafal hadits sebanyak satu juta ( 1000.000 ) hadits. Ketika ditanyakan kepadanya :”Darimana engkau mengetahui itu?”. Jawab Abu Zur’ah :”Saya sering membicarakan hadits dengannya dan banyak pula yang saya kutip meliputi beberapa bab darinya”. Ada lagi orang yang bertanya kepada Abu Zur’ah :

”Siapakah Ulama yang paling banyak hafalan haditsnya?”

Jawab Abu Zur’ah :

”Imam Ahmad bin Hanbal, jika sekarang hadits-haditsnya dibukukan, mungkin sampai 12 muatan onta!”.

Imam Ahmad bin Hanbal juga dikenal sebagai pemburu hadits, jika beliau mendengar ada guru hadits, dimana hadits-hadits yang diajarkannya belum dikenalnya, maka Imam Ahmad segera mencari tempat guru tersebut, meskipun hanya untuk mengambil satu buah hadits saja. Beliau rela berkelana berhari-hari, hanya untuk mengambil hadits tersebut.

Penghidupan Imam Ahmad bin Hanbal

Penghidupan sehari-hari Imam Ahmad bin Hanbal termasuk miskin. Beliau hanya menerima hanya menerima harta warisan dari orang tuanya berupa sebidang tanah berikut rumah tempat tinggalnya dan sebuah baju bersulam. Baju itu sering disewakannya kepada orang lain dan uangnya dipergunakan untuk belanja keperluan sehari-hari. Tanah sekitar rumahnya itu ditanami, dan setiap tahunnya dikeluarkan zakatnya.

Akan tetapi biarpun beliau miskin, Imam Ahmad mempunyai harga diri yang tinggi dan sangat menjaga kehormatan dirinya. Hal itu terbukti ketika dalam perjalanan ke Yaman untuk berguru, ditengah perjalanan kehabisan bekal. Teman-temannya hendak memberikan bantuan kepadanya, namun ditolaknya, sebab menurutnya, selama dirinya masih mampu berusaha sendiri, beliau pantang menerima bantuan orang lain. Maka beliau menjual tenaganya untuk mendapatkan bekal. Beliau bekerja sebagai pembantu dalam kafilah itu, hingga mereka sampai di Shan’a.

Kata Abdur Razaq :

”Dua tahun lamanya Imam Ahmad tinggal di Shan’a. suatu waktu aku pernah bermaksud memberikan bantuan kepadanya :”Ini ambillah dan gunakan untuk keperluan sehari-hari, sebab tanah saya tidak dapat ditanami dan tidak dapat menghasilkan apa-apa!”.

Namun Imam Ahmad menjawab :”Tidak, aku masih bisa mencarinya sendiri!”.

Sebagai Imam Besar, ahli Hadits dan ahli Fiqih terkemuka , seluruh kehidupannya hanya untuk Allah SWT semata. Beliau sama sekali tidak terpengaruh oleh gemerlapnya fatamorgana dunia seperti harta, pangkat dan kedudukan. Hal tersebut diakui oleh Sulaiman bin Asyats :

”Saya belum pernah mendengar Imam Ahmad bin Hanbal membicarakan tentang keduniaan. Jika lapar, beliau mengambil sepotong roti lalu dicelupkan ke dalam air dan dimakannya dengan garam. Kadang-kadang orang rumah memasakkan sayur dicampur adas dan gajih. Biasanya lauk pauknya hanya cuka saja!”.

Kata putra Imam Ahmad yang bernama Shalih :”Ayahku pernah berkata :

Dikala harga barang-barang naik, ibumu biasa menjual kain tenun buatannya sendiri dengan harga 2 dirham. Dari hasil penjualan itulah yang dipergunakan untuk belanja sehari-hari”.

Kata Ali Al-Madiny :”Sekali aku berpamitan kepada Imam Ahmad, aku meminta nasehat kepadanya. Katanya :

”Hendaklah engkau membawa bekal taqwa dan hendaklah yang menjadi cintamu yaitu keakhiratan”.

Putra Imam Ahmad yang bernama Abdullah berkata :”Ayah, saya minta wasiat. Maka kata Ayahku :

”Nak, berniatlah yang baik, maka engkau akan tetap baik selama berniat baik!”

Kezuhudan Imam Ahmad, membuatnya begitu enggan untuk menduduki suatu jabatan dilingkungan pemerintahan. Ibrahim Al-Muzny bersaksi mengenai hal itu : Imam Syafi’i pernah menceritakan :

”Waktu saya menghadap Khalifah Harun Ar-Rasyid, sesudah berbicara panjang lebar, saya pernah menyarankan kepadanya bahwa saya memerlukan tenaga seorang hakim. Maka Khalifah menyuruh saya mencari orang yang tepat untuk menduduki jabatan itu, dari teman-teman saya sendiri.

Setelah saya pulang ke rumah, maka datanglah Imam Ahmad. Maka kukatakan kepadanya :

Saya baru berunding dengan Amirul Mukminin tentang jabatan Hakim untuk negeri Yaman. Saya disuruhnya untuk mencarinya. Kebetulan engkau datang. Nah marilah kita menghadap Khalifah, sebab beliau menetapkan jabatan itu kepadamu!”

Jawab Imam Ahmad :

”Saya datang kepadamu bukan untuk membicarakan tentang urusan jabatan Hakim, tetapi saya ingin menerima pelajaran darimu !”

Mendengar penolakan Imam Ahmad, maka Imam Syafi’i menjadi amat malu. Hal tersebut dilakukan Imam Ahmad oleh karena begitu takutnya kepada Allah SWT sebagai cermin ketaqwaannya yang begitu tinggi. Kata Al-Marwazy : ”Saya pernah mendengar Imam Ahmad berkata :

”Aku takut kepada Allah SWT. Itulah yang mencegah saya makan minum yang enak-enak. Karenanya saya tidak ada nafsu sama sekali”.

Suatu kali saya pernah berkunjung ke rumah Imam Ahmad seraya mengucapkan salam dan menanyakan keadaannya. Dijawab oleh Imam Ahmad :

”Biasa saja seperti layaknya manusia yang selalu dituntut Allah SWT dengan kewajiban-kewajiban fardlu, yang selalu dituntut oleh Rasulullah SAW untuk mengerjakan Sunahnya, yang selalu dituntut oleh malaikat Raqib / ‘Atid tentang perbuatan amal baik, sebagaimana dikehendaki oleh hatinya sendiri, sebagaimana dikehendaki oleh setan untuk berbuat keji, sebagaimana dituntut oleh Malaikat Maut untuk dicabut nyawanya dan sebagaimana dituntut oleh anak istri minta belanja!”

Putra Imam Ahmad, Abdullah pernah berkata :

Ayahku biasa Sholat sehari semalam sebanyak 300 rakaat. Ketika sedang sakit, rupanya tidak mengerjakan sebanyak itu, dan hanya mampu mengerjakan 150 raka’at saja. Ketika itu umurnya mencapai 80 tahun. Setiap hari hanya mampu menyelesaikan sepertujuh Al-Qur’an. Jadi khatam dalam satu minggu sekali. Sesudah shalat ‘Isya, beliau hanya tidur sebentar kemudian bangun lagi untuk melakukan shalat malam, berzikir dan berdoa’ hingga waktu subuh”.

Abu Bakar Marwazi bercerita :

”Imam Ahmad adalah orang yang ramah tamah, kasih sayang terhadap fakir miskin, membatasi diri dengan orang-orang yang berkehidupan mewah. Sopan santun, dimana ada tempat yang kosong disitulah beliau duduk. Airmukanya selalu manis, tidak pernah cemberut, apalagi berkata kasar. Beliau menyukai karena Allah SWT dan membenci karena Allah SWT. Cintanya kepada sesama manusia seperti beliau mencintai diri sendiri. Apa yang tidak disukai untuk dirinya, maka tidak disukai pula untuk orang lain. Jika ada orang berbuat suatu hal yang tidak disukainya, beliau marah karena Allah SWT semata, terutama jika mengenai pelanggaran hukum-hukum agama, maka beliau amat marah hingga merah padam mukanya, seakan-akan bukan beliau lagi. Dalam hal ini beliau tidak peduli dan tidak takut kepada siapapun juga”.

Pengakuan orang tentang Imam Ahmad bin Hanbal

Ahmad bin Syeban :

Saya belum pernah melihat Guru menghormati seseorang, lebih daripada kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau biasa mempersilahkannya duduk disisinya. Sesekali Imam Ahmad pernah menderita sakit, dan Guru kami memerlukan datang menengoknya.

Imam Syafi’i :

Ketika saya meninggalkan Baghdad, diantara teman-teman tidak ada yang lebih taqwa, lebih suci, lebih alim dan lebih mengerti dari Imam Ahmad bin Hanbal

Ali bin Mudainy :

Allah SWT telah meninggikan derajat agama kita ini, karena jasanya dua orang besar, tidak ada yang ketiganya lagi, yaitu : Abu Bakar Ash-Shiddiq memberantas pemberontakan kaum Riddah yang menyeleweng dari agama dan kedua adalah Imam Ahmad bin Hanbal ketika menghadapi ujian berat, dalam mempertahankan pendapatnya bahwa Al-Qur’an itu Qaul Qadim dan bukan baru.

Abdul Malik Maimuniy :

Aku belum pernah melihat orang yang paling bersih, yang selalu memelihara kumisnya, rambutnya dan bajunya yang putih bersih seperti Imam Ahmad bin Hanbal.

Abu Daud As-Sajsataniy :

Saya pernah belajar kurang lebih pada 200 orang guru, tetapi belum pernah saya bertemu dengan seorang guru seperti Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau jika berbicara hanya mengenai ilmu pengetahuan saja.

Abdul Wahab Al-Warraq :

Saya belum pernah menemui guru seperti Imam Ahmad bin Hanbal. Teman-teman saya yang lain pernah bertanya kepadanya, apa kelebihannya dari guru-guru yang lain. Beliau pernah ditanya enam puluh ribu masalah dan kesemuanya dijawab menurut riwayat si Anu dari si Anu dan seterusnya.

Imam Ahmad bin Hanbal menghadapi ujian berat

Ketika Khalifah Ma’mun berkuasa, kaum Mu’tazilah sangat mempengaruhi pemerintahannya. Bahkan mereka memegang peran penting, sebab Khalifah Ma’mun telah sefaham dengan mereka.

Kaum Mu’tazilah mempunyai faham bahwa Al-Qur’an bukan kalam Ilahi ( firman tuhan ) melainkan mahluq ( ciptaan ). Kaum Mu’tazilah ini berusaha mempengaruhi Khalifah, supaya faham ini menjadi faham rakyatnya. Namun Imam Ahmad dan kawan-kawannya jelas-jelas menolak ajaran menyimpang ini. Mereka yang menentang disiksa dan dicambuk.

Maimun bin Ashbagh telah menceritakan peristiwa tersebut :

Rakyat menjadi gempar. Ada apakah gerangan ini? Imam Ahmad akan dihadapkan kepada Khalifah untuk diperiksa. Segera aku dating ke istana. Aku masuk melalui pengawal. Setelah sampai di Balairung, kulihat pedang-pedang terhunus, tombak-tombak siap dihunjamkan, anak-anak panah sudah dipasang, begitu pula cambuk-cambuk telah dipersiapkan. Jelasnya semua alat penyiksa dan senjata pembunuh lengkap telah tersedia di tempat. Aku dikenakan orang memakai baju luar hitam dan ikat pinggang berikut pedangnya. Aku duduk tidak jauh dari tempat pemeriksaan, dimana pemeriksaan dapat kudengar dengan jelas.

Tidak lama kemudian datanglah Khalifah dan segera duduk di atas singgasananya. Setelah itu Imam Ahmad dihadapkan. Maka mulailah Khalifah memeriksa :

”Demi keturunanku sebagai anak cucu Rasulullah SAW. Engkau ini wahai Abu Abdillah! Apakah mau jika aku cambuk atau maukah engkau mengikuti pendapatku?”.

Imam Ahmad bin Hanbal tetap saja pada pendiriannya. Beliau tidak mau mengakui bahwa Al-Qur’an itu makhluknya, melainkan firmannya. Maka Khalifah menoleh pada algojo seraya memerintahkan untuk mencambuknya.

“Ayo bawalah dia, cambuk hingga mampus!”

”Bismillah”. Kemudian Imam Ahmad dibawanya ke tempat penyiksaan. Dicambuknya satu kali dan diterima oleh Imam Ahmad dengan ucapan :

Pada pukulan kedua kali, beliau mengucapkan :

” La haula wala quwwata illa billah”.

Dan pada pukulan ketiga kalinya Imam Ahmad mengucapkan :

”Memang betul Al-Qur’an itu firman Allah SWT, bukan barang makhluk”.

Pada pukulan keempat kalinya, beliau mengucapkan :

”Qullan Yushibana illa ma kataballahu lana” ( Katakanlah, tidak akan bisa menimpa kita, kecuali jika memang telah ditaqdirkan Allah SWT )

Begitulah sikap Imam Ahmad ketika menerima deraan secara terus menerus hingga dua puluh tujuh kali.

Ketika menerima cambukan terus menerus itu, tiba-tiba tali celanya putus. Celananya melorot ke bawah. Maka Imam Ahmad pun menengadahkan wajahnya ke atas, bibirnya yang pucat berkomat- kamit, entah apa yang diucapkan oleh Imam Ahmad. Namun suatu keajaiban pun terjadi, tiba-tiba celana yang melorot ke bawah itu tiba-tiba bergerak naik lagi dengan sendirinya, hingga sebatas pinggang, lalu erat lagi dengan sendirinya pula.

Tujuh hari setelah peristiwa itu, aku datang mengunjunginya di tempat tahanannya. Aku tanyakan kepadanya :

”Apa yang kamu baca ketika didera, hingga celanamu menutup lagi dengan sendirinya?”

Jawab Imam Ahmad :

“Ku baca, Allahumma inni asaluka bis mi kalladzi malaat bihil ‘Arsy…!” ( Ya Allah, aku mohon dengan namamu yang meliputi seluruh jagat ‘Arsy. Engkau tahu jika memang aku ini benar, maka aku mohon supaya ditutup kembali auratku ini).

Para sahabat Imam Ahmad bin Hanbal amat prihatin mendengar kabar mengenai ditahannya Imam Ahmad oleh Khalifah. Mereka berduyun-duyun datang menengoknya. Salah satunya adalah Abu Ja’far Al-Anbary yang mengatakan :

”Ketika saya mendengar bahwa Imam Ahmad akan dihadapkan ke muka baginda Al-Ma’mun, saya segera menyeberangi sungai Eufrat. Saya menjumpai beliau dalam tahanannya. Setelah ku beri salam, beliau berkata :

”Saya kira saudara cape bukan?”.

“Tidak”, sahutku. Lalu akupun berkata kepadanya :

”Saudara engkau sebagai pemimpin Umat, rakyat dibelakangmu akan mengikuti jejak langkahmu. Jika engkau mengakui bahwa Al-Qur’an itu ciptaan, maka rakyatpun akan berkata demikian juga. Tetapi jika tetap dalam pendirianmu, tidak mau mengakui, maka rakyatpun akan patuh mengikuti katamu itu. Sekalipun engkau mati dibunuh, toh suatu waktu engkau akan mati juga. Oleh sebab itu, hendaknya engkau bertaqwa kepada Allah, agar tetap dalam pendirianmu, jangan mau mengakui sama sekali!”.

Imam Ahmad mengeluarkan linangan air mata, ketika mendengar nasehat sahabatnya itu. Lalu beliau berkata :

”Masya Allah..segala-galanya menurut bagaimana kehendak Allah juga!’.

Kata Abu Ja’far lagi :

”maukah engkau berjanji demikian?”.

“Ya aku berjanji demikian!”. “Masya Allah…Masya Allah!”.

Mengenai hal ini, Ahmad bin Khassan juga berkata :”Ketika aku bersama Imam Ahmad bin Hanbal dihadapkan di muka baginda Al-Ma’mun, aku disambut oleh seorang pegawai

Istana dengan cucuran air mata. Orang itu menyatakan rasa duka citanya yang mendalam. Sambil menyeka air matanya ia berkata :

”Tuan, pilu rasa hati saya melihat peristiwa yang menimpa Tuan berdua!”.

Sementara itu Khalifah Al-Ma’mun telah menghunus pedangnya. Kulit penadah pun telah dihamparkannya. Lalu berkata :

”Demi keturunanku sebagai anak cucu Rasulullah SAW, tidak akan ku sarungkan pedang ini, jika kamu berdua tidak mengakui bahwa Al-Qur’an itu barang ciptaan!”.

Tiba-tiba Imam Ahmad berlutut dan berdoa’.

Ketika malam tiba, tiba-tiba suasana istana mendadak menjadi gempar. Terdengar hiruk pikuk suara tangis dalam istana. Ku lihat seseorang berlari mendatangi kami, lalu berkata :

”Benar Tuan, benar ucapan Tuan tadi, bahwa Al-Qur’an bukan barang ciptaan ( makhluk ) melainkan firman Allah SWT, Tuan-tuan dengar? Amirul Mukminin sudah meninggal”.

Selama dua tahun penuh Imam Ahmad bin Hanbal berada dalam tahanan. Berikut kesaksian Ibnu ‘Iyadh :

“Selama meringkuk dalam penjara, Imam Ahmad menerima deraan, siksaan hingga kadang-kadang pingsan. Beliau juga ditusuk-tusuk dengan ujung pedang, dilemparkan dan diinjak-injak.

Demikianlah penderitaan Imam Ahmad yang dialaminya hingga zaman Khalifah Mu’tashim, yang kemudian digantikan oleh Khalifah Watsiq. Bahkan pada pemerintahan Khalifah Watsiq lebih menderita lagi. Sebab beliau melarikan diri dari tahanan dan hidup dengan sembunyi-sembunyi hingga Khalifah Watsiq meninggal dunia.

Setelah pemerintahan dipegang oleh Khalifah Mutawakkil, beliau dibebaskan, dihormati dan dijunjung tinggi. Kepada semua rakyat diumumkan bahwa semua rakyat harus kembali kepada sunnah Nabi SAW sebagaimana semula dan mengakui Al-Qur’an itu adalah firman Allah, bukan makhluknya. Setelah Imam Ahmad dibebaskan, Khalifah berjanji akan mengambil tindakan keras kepada semua kaum Mu’tazilah yang telah menyengsarakannya. Ketika Khalifah Mutawakkil menerima kunjungan Imam Ahmad di istananya, dikatakan kepada bundanya :

”Bunda, orang inilah yang telah menyemarakkan Negara kita”.

Oleh Khalifah, Imam Ahmad, dikenakan baju kebesaran yang indah dan cemerlang. Namun berlinanglah air mata Imam Ahmad. Bukan air mata senang menerima anugerah itu, tetapi justru bertambah susah dan gelisah hatinya sebagaimana dikatakan sendiri olehnya :”Terhindar dari malapetaka sengsara, kini aku terjerumus dalam kemewahan hidup yang menggelisahkan hatiku!’.

Setelah pulang, pakaian mewah itu dilepaskan dan dibuangnya, dicampakkan jauh-jauh.

Wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal

Di usianya yang hampir mencapai satu abad, Imam Ahmad bin Hanbal mulai sakit-sakitan. Sudah sembilan hari lamanya Imam Ahmad terbaring di dipannya dengan sakit yang semakin hari semakin parah. Orang-orang mulai berduyun-duyun untuk menjenguknya. Saking banyaknya hingga rumahnya yang tidak seberapa besar penuh dengan manusia. Hingga polisi istana turut campur untuk menertibkannya.

Pada hari Jum’at bulan Rabiul Awal tahun 241 H / 855 M, Imam Ahmad bin Hambal berpulang ke Rahmatullah, Rabbul ‘Izzati.

Daerah pengaruh Mazhab Hanbali

Daerah pengaruhnya tidak begitu luas, yaitu Syiria, Mesir, Iraq dan Hijaz.

Hasil Karyanya

Imam Ahmad mewariskan hasil karyanya berupa sebuah kitab yang berjudul “Al- Musnad” yang berisi kumpulan hadits yang terdiri dari 40.000 hadits, termasuk 10.000 yang berisi pujian kepada keluarga Ali bin Abi Thalib.

Ajaran Mazhab Hanbali bersesuaian dengan ajaran Malik bin Annas ( Mazhab Maliki ). Beliau sangat berbeda dengan para pemimpin theology Islam lainnya, seperti Imam Hanafi dan Imam Syafi’i. tidak ada buku theology islam mendetail yang ditulis olehnya, juga tidak mengatur beberapa problem keagamaan dan faham-fahamnya. Namun demikian klasifikasi, pencatatan dan pemberian judul dari sisi Mazhab Hanbali merupakan hasil karya murid-muridnya sendiri.

Mazhab Hanbali ini sangat jauh dari ijtihad dan lebih menggantungkan kepada pendapat dari hadits. Hal inilah mungkin yang menyebabkan tidak banyak pengikutnya, dibandingkan Mazhab-mazhab lainnya.


( Dikutip dari buku “Perjalanan Spiritual 4 Imam Mazhab )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar